Wednesday, August 17, 2016

UPACARA HARAM?

UPACARA HARAM?
ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan dari Salman Al-Farisi RA, Rasul SAW pernah ditanya tentang hukum minyak samin, keju dan bulu binatang lalu beliau menjawab:
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Perkara halal adalah sesuatu yang nyatakan status halalnya oleh Allah dalam Quran-Nya. dan perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan. [HR Tirmidzi]

Catatan Alvers

Dalam momen peringatan kemerdekaan akhir-akhir ini banyak orang yang mempermasalahkan hukum mengadakan upacara bendera, termasuk diantaranya masuk ke inbox kami. Mereka berdalih dengan tiga perkara : 1. Upacara bendera tidak pernah dilakukan oleh Rasul dan sahabat beliau. 2. Tidak boleh berdiri untuk menghormat orang lain apalagi menghormat bendera. 3. Mengagungkan bendera termasuk perbuatan syirik.
Alvers, menjawab pertanyaan pertama. Pernyataan bahwa upacara bendera tidak pernah dilakukan oleh Rasul dan sahabat beliau memang benar demikian, namun bukan berarti bid’ah. Karena upacara bendera tidak termasuk urusan ritual ibadah atau dalam bahasa hadits “Fi Amrina”. 

Lebih lanjut, Rasul tidak pernah melarang upacara bendera dan semacamnya sedangkan sesuatu yang tidak disinggung oleh beliau termasuk kategori perkara yang diperbolehkan. Rasul SAW bersabda :
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Perkara halal adalah sesuatu yang nyatakan status halalnya oleh Allah dalam Quran-Nya. dan perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan. [HR Tirmidzi]
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih syafi’iyyah yang berbunyi :
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
"hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah (boleh) hingga ada dalil yang mengharamkannya." [Asybah Wan Nadha’ir]
Dari uraian ini maka ketika itu saya jawab “mana dalil yang melarang upacara bendera?”

Pertanyaan Kedua. Alvers, Statement tidak boleh berdiri untuk menghormat orang lain apalagi menghormat bendera ini tidak “semua”nya benar. Mengapa demikian? Karena ada hadits yang sejalan dengan statement tersebut namun pemahamannya tidaklah demikian. 

Hadits yang sejalan yang saya maksudkan tadi adalah hadits berikut. Diriwayatkan dari Abi Mijlaz bahwa Muawiyah keluar kemudian orang-orang berdiri untuk menghormatinya maka Muawiyah berkata : Saya pernah mendengar Rasul SAW bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa suka orang-orang berdiri untuk (menghormati)nya, maka hendaklah dia bersiap sedia dengan tempat duduknya di Neraka.” [HR Ahmad]

Dalam versi riwayat Ibnu Abi Syaibah, Suatu ketika Muawiyah memasuki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Zubair. Lalu Abdullah bin Amir berdiri (untuk menghormati kedatangannya) sedangkan Abdullah bin Zubair tidak berdiri. Muawiyah berkata kepada Abdullah bin Amir : Duduklah karena aku mendengar Rasul SAW bersabda : “Barangsiapa suka orang-orang berdiri untuk (menghormati)nya, maka hendaklah dia bersiap sedia dengan tempat duduknya di Neraka.” [HR Ibnu Abi Syaibah]

Hadits lain yang sejalan dengan situasi di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas RA berikut :
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ 
Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi Rasulullah SAW, Anas berkata; Apabila mereka melihat Rasul, mereka tak berdiri karena mereka tahu bahwa beliau tak menyukai yang demikian itu. [HR. Tirmidzi]

Namun demikian alvers, Hadits ini tidak serta merta dipahami sebagai larangan untuk berdiri dalam rangka menghormat orang lain akan tetapi hadits ini menunjukkan a

kan kerendah hatian Rasul SAW yang tidak suka dihormati apalagi gila hormat sehingga senang melihat orang lain berdiri menghormati beliau dan marah apabila tidak demikian. Maka, di satu sisi hadits di atas melarang seseorang untuk gila hormat dan menuntut orang lain agar menghormati dirinya dengan cara berdiri dan di sisi lain tidak ada larangan untuk berdiri dalam rangka menghormat orang lain. Adapun perintah Muawiyah kepada Abdullah bin Amir untuk tetap duduk dan tidak berdiri hanyalah penjelasan terhadap suatu ilmu dan merupakan wujud rendah hati muawiyah yang jauh dari sifat gila hormat. Jika kedua hal ini dipahami lalu dijalankan maka akan indah kehidupan ini. Orang yang mulia tidak gila hormat dan tidak senang orang lain berdiri untuknya sedang orang-orang di sekitarnya mereka berdiri untuk memuliakannya tanpa diminta apalagi diperintah oleh orang mulia tersebut.
Menurut Al-Bujairimi, Perkataan ulama yang menganjurkan (sunnah) berdiri untuk menghormati orang mulia tidaklah bertentangan dengan hadits di atas karena hadits di atas ditujukan hanya kepada orang yang gila hormat dan senang orang lain berdiri utnuk menghormati kedatangannya. Diriwayatkan bahwa Rasul memerintahkan para sahabat agar tidak berdiri untuk menghormati kedatangan beliau. Namun suatu ketika Nabi bertemu dengan hisan RA dan hisanpun berdiri menghormati beliau sambil mendendangkan syairnya :
قيامي للعزيز علي فرض :: وترك الفروض ما هو مستقيم
عجبت لمن له عقل وفهم :: يرى هذا الجمال ولا يقوم
Wajib atasku untuk berdiri menghormati orang mulia, sedangkan meninggalkan kewajiban adalah hal yang tidak dibenarkan. Aku heran dengan orang yang berakal dan memahami bahwa hal ini (berdiri) adalah baik namun ia tidak berdiri.
Lalu Rasul membiarkan hisan berdiri sebagai pertanda ikrar bahwa apa yang dilakukan oleh hisan bukanlah hal yang salah. Kemudian ini menjadi hujjah bagi ulama yang mengatakan :
إن مراعاة الأدب خير من امتثال الأمر
Menjaga tatakrama itu (dengan berdiri) lebih baik daripada melakukan perintah (duduk). [I’anatut Thalibin]
Lebih jelas dalam urusan ini, Ketika Sa’ad bin Mu’adz RA mendekati pasukan kaum Muslimin, Rasul SAW berkata kepada kaum Anshar :
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ 
“Berdirilah untuk (menyambut) pemimpin kalian. [HR Bukhari]
Uraian kedua ini untuk menjawab bolehnya berdiri sebagai bentuk penghormatan. Adapun masalah menghormat bendera saya menguraikannya pada jawabn ketiga berikut.

Pertanyaan Ketiga. Alvers, penanya memberikan statement bahwa mengagungkan bendera termasuk perbuatan syirik. Menjawab pertanyaan ini haruslah diketahui bahwa menghormati bendera dengan berdiri yang terjadi dalam upacara atau ditambah dengan isyarat tangan adalah menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya, bukan sebagai sikap menyembah bendera dan saya yakin setiap peserta upacara tidak ada yang berniat menyembah bendera sehingga bisa serta merta dihukumi syirik. 

Bendera merah putih bukan hanya sebagai bendera, namun ia menjadi simbol perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Kalau bendera hanya diartikan sebagai kain maka mengapakah Rasul memerintahkan para sahabat untuk mempertahankan tegaknya bendera mati-matian. Rasul mengangkat Zaid bin Haritsah RA sebagai panglima sekaligus pembawa benderanya. Beliau lalu bersabda:
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kalau Zaid terbunuh, maka Ja’far (yang menggantikannya). Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah (yang menggantikan).” [HR Bukhari]

Lebih lanjut, dan lebih menarik kisahnya Imam Nasai menuturkan kejadian berikut :
فأخذ الراية زيد فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية جعفر فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية عبد الله بن رواحة فقاتل حتى قتل ثم أخذ الراية خالد بن الوليد ففتح الله عليه
Sesuai dengan perintah beliau, maka Zaid membawa bendera lalu berperang hingga ia tewas lalu bendera diambil alih oleh Ja’far lalu berperang hingga ia tewas lalu bendera diambil alih Abdullah bin Rawahah lalu berperang hingga ia tewas lalu bendera diambil alih oleh Khalid Bin Walid maka Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimi

n [ HR An-nasai]

Lebih dahsyatnya lagi coba lihat bagaimana para sahabat menegakkan benderanya. Ibnu Hisyam menceritakan :
أن جعفر بن أبي طالب أخذ اللواء بيمينه فقطعت فأخذه بشماله فقطعت فاحتضنه بعضديه حتى قتل «رحمه الله» تعالى
Sesungguhnya Ja’far bin Abi Thalib memegang bendera dengan tangan kanannya hingga hingga tengan kanannya terputus karena ditebas oleh pedang orang kafir, kemudian ia terus mempertahankan tegaknya bendera dengan tangan kirinya hingga tengan kirinya juga terputus, bahkan setelah kedua tangannya terputus ia merangkul tiang bendera dengan kedua lengannya yang tersisa dan didekap di dadanya hingga beliau tewas, semoga Allah merahmati beliau. [Sirah Nabawiyah] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk membela tanah air dan mencintainya sebagai wujud keimanan dan syukur kita kepada Allah swt yang telah memberikan kemerdekaaan kepada bangsa kita.

Salam Hormat,
DR.H.Fathul Bari, Malang, Ind

Dalam rangka
HUT 71 RI
Upacara bendera Sarungan dengan 4 Bahasa, indo, arab, inggris dan thailand di Ponpes Annur 2 Malang Jatim Indonesia

Friday, August 5, 2016

FIKIH MENGUAP (ONE DAY ONE HADITH)



Diriwayatkan Dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :
وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ
Sedangkan menguap itu dari setan, jika seseorang menguap hendaklah dia tahan semampunya. Bila orang yang menguap sampai mengeluarkan suara ‘haaahh’, setan tertawa karenanya. [HR. Bukhari]

_Catatan Alvers_

Siapapun kita pastilah pernah menguap bahkan sering menguap tatkala lelah dan butuh istirahat. Menguap adalah reaksi alamiah tubuh yang membutuhkan istirahat. Hal ini berbeda dengan para Nabi yang tidak pernah menguap. diriwayatkan :
مَا تثاءب نَبِي قطّ
Nabi tidaklah pernah menguap [Syarhus Sunnah Lil Baghawi]

Bahkan maslamah bin Abdil Malik mengatakan :
الأنبياء لا يتثاءبون ما تثاءب نبي قط
Para nabi semuanya tidak pernah menguap, tidak pernah seorang nabi itu menguap [Tarikh Dimasq]

Menguap dalam pandangan islam adalah hal yang tercela sehingga harus dihindari bahkan ditahan karena pada hakikatnya menguap itu dari setan sebagaimana redaksi hadits di atas dan itulah mengapa Rasul SAW adalah tidak pernah menguap. Statement “menguap itu dari setan” mendatangkan pertanyaan, kalau memang benar menguap itu dari setan kenapa sewaktu puasa banyak orang menguap padahal saat itu setan-setan sedang di ikat (shuffidat). Menjawab hal ini, Ibnu batthal berkata:
إِضَافَة التَّثَاؤُب إِلَى الشَّيْطَان بِمَعْنَى إِضَافَة الرِّضَا وَالْإِرَادَة أَيْ أَنَّ الشَّيْطَان يُحِبّ أَنْ يَرَى الْإِنْسَان مُتَثَائِبًا لِأَنَّهَا حَالَة تَتَغَيَّر فِيهَا صُورَته فَيَضْحَك مِنْهُ . لَا أَنَّ الْمُرَاد أَنَّ الشَّيْطَان فَعَلَ التَّثَاؤُب .
Penyandaran menguap kepada setan itu merupakan penyadaran yang bermakna senang dan kehendak. Maksudnya setan seang melihat seseorang menguap karena menguap adalah keadaan dimana rupa wajahnya berubah (menjadi jelek) sehingga setanpun tertawa melihatnya. Sehingga Bukan berarti setan yang menyebabkan seseorang menguap [Fathul Bari]

Selanjutnya Imam Nawawi menjelaskan :
أُضِيفَ التَّثَاؤُب إِلَى الشَّيْطَان لِأَنَّهُ يَدْعُو إِلَى الشَّهَوَات إِذْ يَكُون عَنْ ثِقَل الْبَدَن وَاسْتِرْخَائِهِ وَامْتِلَائِهِ وَالْمُرَاد التَّحْذِير مِنْ السَّبَب الَّذِي يَتَوَلَّد مِنْهُ ذَلِكَ وَهُوَ التَّوَسُّع فِي الْمَأْكَل .
Menguap itu disandarkan kepada setan karena setan mengajak manusia memenuhi syahwatnya. Menguap itu timbul dari beratnya badan, lemah dan penuhnya perut karena makanan. Maksud hadits di atas adalah peringatan untuk mewaspadai sebab timbulnya menguap yaitu banyak makan. [Fathul Bari]

Dalam Islam ada adab yang harus dilakukan ketika kita menguap. Diantaranya adalah anjuran menutup mulut ketika menguap. Rasulullah bersabda:
إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَضَعْ يَدَهُ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مَعَ التَّثَاؤُبِ
"Apabila salah satu dari kalian menguap maka hendaklah dia menaruh tangan di mulutnya karena setan akan masuk bersama uapannya." [HR. Ahmad]

Adab selanjutnya adalah menahan sekuat tenaga agar tidak jadi menguap. Sebagaimana hadits utama di atas : menguap itu dari setan, jika seseorang menguap hendaklah dia tahan semampunya. [HR. Bukhari]

Mughirah bin ibrahim berkata :
إني لادفع التثاؤب في الصلاة بالتنحنح
Sungguh aku menolak menguap ketika shalat dengan dehem [Mushannaf Ibn Abi Syaibah]

Hindarkan diri dari menguap yang lepas sampai mengeluarkan suara aah... karena Rasul bersabda : Bila orang yang menguap sampai mengeluarkan suara ‘haaahh’, setan tertawa karenanya. [HR. Bukhari]

Menurut penelitian modern ternyata menguap tidak hanya disebabkan rasa kantuk tapi ada faktor lain yang menjadi pemicunya. Dalam situs alodokterdotcom disebutkan Robert Provine, seorang ahli syaraf dari Universitas Maryland, Amerika Serikat, meneliti tentang menguap selama 30 tahun, mengatakan bahwa menguap adalah tanda kelelahan.
Selain itu, menguap juga ada kaitannya dengan kebosanan. Dia melakukan percobaan dengan cara membagi dua kelompok remaja. Kelompok pertama diberi tontonan tentang tes warna yang tidak menarik, sementara kelompok kedua diberi tontonan video musik. Hasil penelit
ian menunjukkan, remaja pada kelompok pertama terlihat lebih banyak menguap dibandingkan remaja yang diberi tontonan video musik.

Terdapat fakta menarik lainnya dari fenomena menguap. Andrew C. Gallup, PhD, seorang peneliti dari Universitas Princeton, Amerika Serikat. Gallup mengatakan, manusia menguap karena untuk mendinginkan otak. Ketika menguap, seseorang akan melakukan peregangan rahang yang sangat kuat sehingga bisa meningkatkan aliran darah pada leher, wajah, dan kepala untuk mengeluarkan hawa panas pada otak dan ketika mengambil napas dalam-dalam saat menguap, udara dingin akan masuk ke dalam rongga sinus dan sekitar arteri karotis menuju ke otak sehingga terjadi proses pendinginan otak yang panas.

Fakta yang lebih menarik lagi adalah ternyata menguap itu bisa menular. Fakta ini diakui demikian bahkan jika ada perkara yang cepat menjalar kepada yang lain maka dalam peribahasa arab disebutkan
أعدى من الثؤباء
Lebih menular daripada menguap [Tajul Arus Min Jawahiril Qamus]

Ternyata keberadaan menguap itu bisa menular adalah sebagai wujud empati. Sebuah penelitian dilakukan kepada anak-anak normal dan penderita autisme. Mereka diajak menonton sebuah video berisi orang-orang yang sedang menguap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak normal terlihat lebih sering menguap ketimbang anak-anak autisme. Hal itu dianggap wajar karena anak-anak autisme memiliki gangguan yang memengaruhi interaksi sosial, termasuk kemampuan berempati kepada orang lain. Ini menguatkan teori bahwa menguap bersifat menular sebagai rasa empati kepada orang lain.
Dan yang penting untuk diwaspadai menguap jika terjadi secara berlebihan bisa menjadi pertanda penyakit tertentu, seperti tumor otak, stroke, epilepsi, sklerosis multipel, gagal hati, atau sinkop vasovagal (mudah pingsan) maka segera periksalah ke dokter.[alodokterdotcom]

Dari paparan di atas mengenai berbagai penyebab aktifitas menguap maka kita ketahui bahwa tidak selamanya menguap disebabkan oleh perbuatan yang tercela yaitu banyak makan dan bermalas-malasan sehingga kita tidak boleh su’u dzan kepada mereka yang sedang menguap. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari menjauhkan kita dari sifat-sifat yang tercela dan menjadikan kita istiqamah dalam sunnah Rasulillah SAW.

Persembahan Terbaik
DR.H.Fathul Bari Malang, Ind.
Alvers Channel On Telegram

RAWATIB BERHADIAH RUMAH (ONE DAY ONE HADITH)

Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Salim, dari ‘Amr bin Aws, dari ‘Ambasah, dari Ummu Habibah RA, bahwa Rasul SAW bersabda :
« مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ
“Barang siapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga. [HR Muslim]

_Catatan Alvers_
Sebagaimana dimaklumi bahwa shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat lima waktu. Jika dikerjakan sebelum shalat wajib disebut shalat sunnah qabliyah. Dan Jika dikerjakan sesudahnya maka disebut shalat sunnah ba’diyah. shalat sunnah rawatib yang sangat dianjurkan atau dikenal dengan mu’akkadah berjumlah 12 rekaat dengan perincian sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW :
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah 12 raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. 12 raka’at tersebut adalah 4 raka’at sebelum zhuhur, 2 raka’at sesudah zhuhur, 2 raka’at sesudah maghrib, 2 raka’at sesudah ‘Isya, dan 2 raka’at sebelum shubuh.”[HR Tirmidzi]

Shalat sunnah rawatib penting sekali dilakukan mengingat keberadaannya sebagai penutup kekurangan yang ada dalam shalat wajib yang dilakukan Sebab shalat lima waktu yang kita lakukan pastilah terdapat kekurangan di dalamnya. Rasul SAW bersabda :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
“Sesungguhnya seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, separuh dari shalatnya.” [HR Abu Daud]

Maka untuk menambal kekurangan ini kita diberi kesempatan untuk menyempurnakannya dengan melakukan shalat sunnah rawatib. Nabi SAW bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.” [HR Abu Daud]

Dari pentingnya melakukan shalat sunnah rawatib ini maka imam Ar-Rafi’i tatkala membahas muru’ah (Harga diri) ia mengatakan :
أَنَّ مَنْ اعْتَادَ تَرْكَ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ ؛ لِتَهَاوُنِهِ بِالسُّنَنِ
Sesungguhnya orang yang terbiasa meninggalkan sunnah rawatib dan bacaan tasbih pada ruku’ dan sujud maka persaksiannya tertolak, tidak diterima karena ia meremehkan sunnah. [Az-Zawajir Aniqtirafil Kaba’ir]
Bahkan keras dari itu, Al-Qadli Abu Ya’la berkata:
من داوم على ترك السنن الرواتب أثم
Barang siapa yang melanggengkan untuk meninggalkan shalat sunnah rawatib maka ia berdosa. [Fathul Bari Libni Rajab]

Pada hadits utama di atas sengaja saya sebutkan nama-nama perawinya karena di sini terdapat hal yang menarik untuk kita contoh. Betapa tidak, setiap perawi yang mendengar hadits ini langsung mengerjakan perintah anjuran Nabi SAW. Coba simak komentar perawi demi perawi sebagai berikut :
Ummu Habibah mengatakan,
فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasul SAW. ”
‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”
‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”
An-Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.”[HR Muslim]
Pertanyaanya, Lantas bagaimana dengan kita yang mendengar hadits ini? Apakah kita ikut melakukannya? Ataukah mengabaikannya?
Penulis memilih tema diatas karena melihat putra-putra penulis yang sejak usia TK terbiasa melakukan sunnah rawatib, alhamdulillah. Mohon doa dari anda alvers, semoga bisa istiqamah. Bahkan tatkala di perjalanan, tanpa diperintahpun mereka tetap melakukannya. Di sinilah penulis ingin memberi masukan bahwa terdapat dispensasi meninggalkan sunnah rawatib (selain qabliyah subuh) di perjalanan. Dalam hadits 'Ashim bin Umar bin al-Khathab, dia bercerita: "aku pernah menemani Ibnu Umar dalam perjalanan menuju Makkah." Lebih lanjut dia bercerita, "dan Ibnu Umar mengerjakan shalat Dzuhur dua rakaat (Qashar) bersama kami, kemudian beliau berangkat dan kamipun ikut berangkat bersamanya hingga sampai di kendaraannya. Lalu dia duduk dan kamipun ikut duduk bersamanya. Setelah itu dia berbalik ke arah tempat dia mengerjakan shalat dan melihat beberapa orang tengah berdiri (shalat). Dia bertanya, "apa yang dilakukan oleh orang-orang itu?". Aku menjawab, "mereka sedang mengerjakan shalat sunnah." Dia kemudian berkata,
لَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا (أي مصلياً بعد الفريضة (لأَتْمَمْتُ صَلاتِي يَا ابْنَ أَخِي إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ.
"Seandainya aku mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat fardlu, tentulah aku sempurnakan shalat (fardlunya empat rakaat). Wahai putera saudaraku, aku pernah menemani Rasul SAW dalam sebuah perjalanan dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku juga pernah menemani Abu Bakar dan dia mengerjakan shalat tidak lebih dari dua rakat sampai beliau wafat. Selain itu, aku pernah menemani Umar bin Khathab, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku pun pernah menemani Ustman dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat.
Allah SWT berfirman : Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian." [QS Al- Ahzab: 21] [HR Muslim]

Meskipun orang yang bepergian mengerjakan shalat wajib dengan 2 raka’at secara qashar dan meninggalkan shalat rawatib maka ia tetaplah dicatat seperti mengerjakannya kesemuanya secara sempurna. Nabi SAW bersabda :
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seseorang sakit atau bepergian, maka dicatat baginya pahala sebagaimana ia mukim atau ketika ia sehat.” [HR Bukhari] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari menjadikan kita istiqamah dalam sunnah Rasulillah SAW.

Persembahan Terbaik
DR.H.Fathul Bari Malang, Ind.
Alvers Channel On Telegram